Pada tahun 1930an, banyak poster dan papan reklame
ditempel pada panel samping gerobak sapi yang hilir mudik mengangkut barang.
Pada masa itu, kebanyakan papan reklame dicetak diatas lembar plat seng atau
logam yang cukup tebal. Banyak pula yang dilapis enamel agar tahan lama.
Setelah tahun 1948, ketika bahan ”ajaib” yang bernama scothlite ditemukan
banyak pula papan reklame yang menggunakan scothlite tadi karena mampu
memantulkan cahaya dengan efek mengagumkan. Plat-plat seng reklame itu kini
merupakan kolekters item yang berharga di pasar benda-benda antik. Ketika itu,
produk yang paling banyak diiklankan melalui media luar ruang bergerak (moving
outdoor media) antara lain adalah produk-produk ban sepeda dari goodyear dan
michelin, produk sabun dan tapal lidi dari unilever, limun (soda pop) merek
regional, dan produk rokok dari berbagai produsen, termasuk cerutu impor. Media
opportunity pada waktu itu memang sangat terbatas, tetapi orang-orang
periklanan sudah sangat kreatif menggunakan setiap peluang yang ada-termasuk
media tradisional.
Belum terbayangkan ketika itu bahwa jauh di kemudian
hari kreativitas iklan telah melahirkan berbagai media untuk menempatkan iklan
diluar ruang. Transit advertising telah menjadi sub bisnis besar dalam
periklanan. Sisi-sisi bus dan kendaraan umum dipasangan panel iklan, atau
spanduk yang ditarik pesawat terbang rendah, bahkan penutup velg roda (hubcaps)
maupun lampung punggung taksi. Tetapi, gajah di thailand yang sejak dulu sering
”ditempeli” papan iklan, sampai di zaman modern ini pun masih menjadi media
iklan yang efektif. Surat kabar, tentu saja, merupakan media yang juga populer
di indonesia sejak pertengahan awal abad ke 19. tetapi, berdasarkan kriteria
umumnya sebetulnya iklan surat kabar sudah hadir di indonesia sejak tahun 1621
ketika gubernur jenderal Jan Pieterszon Con (1619-1629) menerbitkan Memorie De
Nouvelles pamflet informasi semacam surat kabar yang memuat berbagai berita
dari pemerintah hindia belanda, khususnya yang menyangkut mutasi dan promosi
para pejabat penting di kawasan ini. Pamflet ini berupa tulisan indah
(silografi) yang diperbanyak dengan mesin cetak temuan Johannes Gutenberg
(1445).
Berita-berita yang dimuat itu sebetulnya merupakan
iklan karena pemuatannya di Memorie De Nouvelles sepenuhnya di biayai oleh
pemerintah hindia belanda. Sekalipun sangat berbau perbenturan kepentingan
(conflict of interest, bahasa masa kini = KKN), tetapi sang gubernur jenderal
Con adalah juga penerbit media itu dan sekaligus memiliki reclame Bureau yang
megatur pemuatan ”berita di pamflet itu”. Con juga memakai Memorie de Nouvelles
untuk memuat ”berita dengan pesan khusus ” untuk melemahkan daya saing peniaga
portugis di kawasan maluku. Tentu saja, ada VOC dibelakang siasat perang dagang
itu. Pada tahun 1744, terbitlah surat kabar pertama yang memakai teknologi
cetak tinggi, dengan (plat cetak dari timah) di nusantara. Namanya : Bataviaasche
Nouvelles. Tetapi, surat kabar yang juga disponsori oleh pemerintah hindia
belanda pada masa gubernur Jenderal Gustaav Willem Baron Van Imhovv itupun
sebetulnya lebih merupakan lembaran iklan karena memang lebih banyak
menampilkan iklan dan dibiayai hampir sepenuhnya oleh pendapatan iklan pula.
Maklum, surat kabar pada waktu itu hanya bertiras paling banyak hanya 2500 eks.
Sehingga penghasilan sirkulasinya tentulah sangat sedikit.
Dari berbagai surat kabar yang terbit di jakarta,
bandung, semarang, surabaya, makasar, manado, dan medan pada pertengahan abad
ke 19, dapat dilihat hadirnya berbagai iklan barang dan jasa yang memenuhi
halaman-halaman media cetak. Beberapa nama koran besar di masa itu antara lain
adalah: Bataviaasch Nieuwsblad, Nieuws van de Dag, Java Bode (batavia),
Preanger Bode (Bandung), De Locomotief (semarang, semula Samarangsche Nieuws en
Advertentieblad), Nieuwe Vorstenlanden (solo), Soerabaiasche Courant (Surabaya,
semula Oostpost), Makassararsche Courant (makasar), Tjahaja Siang (manado),
Sumatra Post (Medan), dan Soematra Bode (padang).
Selain itu, telah mulai hadir pula berbagai surat
kabar dalam bahasa melayu (sebelum kemudian menjadi bahasa indonesia sejak
1928.) surat kabar berbahasa melayu yang populer pada masa itu antara lain
adalah Medan Moeslimin, Medan Prijaji, Sinar de Jawa, Sinar Terang, dan Soerat
Kabar Minggoean. Kebijaksanaan kontrol informasi yang diterapkan sangat ketat
oleh pemerintah hindia belanda pun membuat surat kabar tidak dapat menjalankan
fungsinya secara penuh sebagai lembaga pemberita. Peran pers indonesia sebagai
alat politik baru muncul pada awal abad ke 20 seiring dengan kegerakkan
kebangkitan nasional dan lahirnya ordonasi pers yang mengatur pembredelan surat
kabar.
Di zaman ”kuda gigit besi” itu, ikaln-iklan juga ramai
diudarakan melalui radio, diproyeksikan di gedung bioskop dan ditampilkan
melalui pertunjukan keliling (mobil propaganda) mirip tukang obat yang hingga
kini masih banyak dijupai di berbagai kota kecil. Iklan radio sebetulnya mash
merupakan sebuah novelty pada awal bad ke-20 setelah radio commercial
pertama dikumandangkan oleh stasiun WEAV di New York City pada 28 Agustus 1922.
Sebuah perusahaan real estate di Quinsboro membayar US $50 untuk
penyuaran pesan komersial selama 5 hari.
Adventertie poenza kaperloean soedah kentara , kerna
advertentie perloenja boeat perkenalken barang-barang dagangan kita ada
publiek. Kaloe barang jang kita dagangken tidak dikenal, bagaiman bisa dapatken
pembeli
Liem Kha Tong
Sebelum iklan hadir di radio, pesan komersial sudah
lebih dulu hadir melalui saluran telepon. Pada tahun 193, perusahaan telepon di
Hongaria ”menjual spot 12 detik di antara musik dan berita yan dipanarkan lewat
telepon dengan tarif sekitar US $0.50. Perusahaan telepon AT&T di Amerika
Serikat juga pada awal abad ke-20 menerima pesan-pesan komersial yag
dipancarkan melali cara call broadcasting ini.
Di Indonesia, radio sudah dikenal sejak awal abad
ke-20. Tidak lama setelah Guglielmo Marconi menemukan gelombang suara dan
mengembangkannya menjadi alat komunikasi yang bernama radio telegrafik, dan
keudian berkembang lagi menjadi pemancar dan penerima gelombang radio. Radio
Nederland WERELDOMROEP yang memancarkan siarannya ke seluruh dunia sejak taun
1920-an. Merupakan pemancar yang paling digemari kaum elite, khususnya
orang-orang belanda di Indonesia pada waktu itu.
Akan tetapi, radio swasta baru muai hadir cikal
bakalnya di Indonesia sejak akhir tahun 1960-an, yitu sejak tumpasnya
pemberontakan G30 S/PKI. Sebelumnya, di Indonesia hanya dienal RRI yang telah
mengudara sejak tahun 1945. RRI sendiri dapat dirunut sejarahnya sejak stasiun
radio bentukan pemerintah Hindia Belanda yang dikendalikan oleh tentara
pendudukan jepang.
Pada awalnya, beberapa mahasiswa di Bandung secara
iseng-iseng mengudara dengan pemancar sederhana berkekuatan rendah. Pada waktu
itu mereka menyebutnya sebaga radio amatir sebuah istilah yang salah kaprah
kaena engertian amateur radio menjeaskan kegiatan yang berbeda dengan teknologi
radio dua arah.
Kata “amatir” disini agaknya dipakai sebagai antonym
dari “professional.” Stasiun-stasiun radio “amatir” ini meruakan bagian dari
perlawanan politik kaum muda terhadap sisa-sisa PKI. Sebelumnya, mereka juga
telah melakukan perlawanan dengan membentuk lascar dan batalyon, seperti LAskar
Arif Rachman Hakim yang merupakan onderboue dari KAMI. Maka, lahirlah
radio ARH dan radio-radio semacam itu di Indonesia.
Gerakan itu dengan cepet menyebar ke Jakarta dan
beberapa kota besar lainnya. Radio Prambors kini telah mengembangkan jejarinnya
dengan beberapa anak perusahaan stasiun radio yang masing-masing memiliki pasar
khas di jalan Borobudur, Jakarta Pusat, juga dapat dirunut sejarahnya pada
periode itu.
Kehadiran radio-radio ”Amatir” itu segera mendapat
lirikan para pengiklan yang memang sedang membutuhkan media alternatif. Salah
satu perintis pengguna radio ”amatir” di Indoesia sebagai media iklan
adalah Ajino moto. Embanjirnya iklan di radio kemudian meningkatkan
profesionalisme para pengelola radio ”amatir” apalagi karena pemerintah
kemudian mengeluarkan peraturan pemerintah no.55 tahun 1970 yang ewajibkan
semua stasiun radio siaran niaga dipayungi dalm wadah badan hukum berbentuk PT.
Sejak saat itu, istilah ”radio amatir” berubah menjadi ”radio siaran
swasta niaga”.
Kebangkitan Asosiasi Periklanan
Indonesia
Menurut catatan, pada tahun 1951, istilah periklanan
pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh pers indonesia, Soedarjo
Tjokrosisworo, untuk menggantikan istilah reklame atau advertensi yang ke
belanda-belandaan. Senapas dengan semangat kebangsaan itu, sebuah biro reklame
di bandung yang sebelumnya bernama Medium, juga mengubah nama menjadi Balai
Iklan. Atas prakarsa beberapa perusahaan periklanan yang berdomisili di Jakarta
dan Bandung, pada awal September 1949 dilembagakan sebuah asosiasi bagi
perusaaan-perusahaan periklanan. Asosiasi ini diberi nama Bond van
Reclamebureaux in Indonesia atau dalam bahasa indonesia Perserikatan Biro
Reklame Indonesia (PBRI). Nama asosiasi yang masih menggunakan bahasa Belanda
ini tidak lain karena mayoritas anggotanya adalah memang perusahaan-perusahaan
periklanan yang dimiliki oleh orang Belanda.
Sebelas perusahaan periklanan tercatat sebagai anggota
PBRI, yaitu: Budi Ksatria, Contact, De Unie, F. Bodmer, Franklijn, Grafika,
Life, Limas, Lintas, Rosada, dan Studio Berk. Akan tetapi, kehadiran PBRI
dianggap hanya mewakili perusahaan-perusahaan periklanan besar khususnya yang
dimiliki atau dikuasai oleh orang-orang Belanda. Perusahaan-perusahaan
periklanan kecil merasa bahwa aspirasi mereka tidak memukau jalan untuk
disampaikan ke dalam PBRI. Suasana seperti itu kemudian memicu lahirnya sebuah
asosiasi perusahaan periklanan nasional yang dimliki dan diawaki oleh
orang-orang Indonesia. Serikat Biro Reklame Nasional (SBRN) dibentuk pada tahun
1953, dan sertamerta menjadi organisasi tandingan bagi PBRI. Tidak jelas
mengapa semangat nasionalisme di dalam SBRN tidak memunculkan istilah iklan
yang sudah dikenal sejak dua tahun sebelumnya, dan masih menggunakan istilah
biro reklame yang berbau Belanda. Anggota SBRN yang tercatat adalah 13
perusahaan periklanan: Azeta, Elite, Garuda, IRAB, Kilat, Kusuma, Patriot,
Pikat, Reka, Lingga, Titi, dan Trio. Tidak semua perusahaan perilanan bersedia
bergabung ke dalam asosiasi. Contonya adalah Medium yang telah bertukar nama
menjadi Balai Iklan. Ia memilih untuk tidak bergabung dengan salah satu dari
dua asosiasi tersebut. Tjetje Senaputra, pemiliknya berdalih bahwa Balai Iklan
tidak menangani iklan display dan karena itu tidak menganggap perusahaan
sebagai full-service agency. Balai Iklan memang mengkhususkan diri pada
iklan-iklan klasika berukuran kecil tentang lowongan kerja dan berita keluarga.
Ada pula dugaan bahwa terbentuknya SBRN diilhami oleh
keterbelahan penerbit surat kabar yang juga memiliki dua asosiasi, yaitu:
Perserikatan Persuratkabaran Indonesia (PPI), dan Serikat Penerbit Suratkabar
(SPS), PPI merupakan kelanjutan dari Verenigde Dagblad Pers di masa Hindia
Belanda. Tentu saja keterbelahan perusahaan-perusahaan periklanan itu membuat
prihatin F. Berkhout, Ketua PBRI pada saat itu. Ia kemudian menghubungi
beberapa pimpinan SBRN dan mnawarkan dibentuknya fusi atau peleburan dari kedua
asosiasi tersebut. Bila tujuannya sama, mengapa harus memakai dua kendraan yang
justru menyulitkan pembinaan ke luar maupun ke dalam, di samping juga tidak
mencuatkan kesan persatuan.
Gagasan fusi itu tampaknya diterima secara umum oleh
kedua belah pihak. Orang-orang Belanda yang semula menguasai berbagai posisi
dan fungsi di PBRI sepakat untuk mengundurkan diri agar digantikan oleh
orang-orang Indonesia. Tetapi fusi itu secara organisatoris ternyata tidak
pernah menjadi kenyataan. Dalam tubuh SBRN terjadi perpecahan, sehingga semua
anggotanya mengundurkan diri dan bergabung ke dalam PBRI. Baru pada tahun 1956,
melalui forum rapat umum anggota, secara aklamasi Muhammad Napis dikukuhkan
sebagai ketua PBRI. Pada tahun 1957, PBRI menyelenggarakan Kongres Reklame
seluruh Indonesia yang pertama. Dalam kongres tersebut, kata ”perserikatan”
diubah menjadi ”persatuan”.
Berdirinya PPPI
Popularitas The Jakarta Admen Club bahkan melebihi
organisasi resmi yang sebetulnya lebih dulu terbentuk pada tahun 1972, yaitu
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI)
Seperti telah dikemukakan pada Bab 1, asosiasi
perusahaan periklanan yang pertama berdiri di Indonesia pada tahun 1949 dengan
nama Bond van Reclame Bureaux in Indonesia atau dalam bahasa Indonesia disebut
Persatuan Biro Reklame Indonesia (PBRI). Nama resminya justru yang berbahasa
Belanda, karena pada waktu itu sebagian besar pelaku di industri periklanan
adalah orang-orang Belanda maupun keturunan Belanda. Demikian juga para
pengurusnya adalah orang-orang belanda dan keturunannya. Baru setelah PBRI
diketuai oleh orang Indonesia, Muh.Napis,maka pada tahun 1957 diputuskan
perhgantian namanya resmi menjadi PBRI. Dengan nama baru itu juga dilekukan
penyesuaian istilah dari “perserikatan” menjadi “persatuan”.
Napis adalah seorang tokoh periklanan Indonesia yang
ternyata berhasil memimpin PBRI secara terus-menerus hingga memasuki dasawarsa
1970-an. Napis sendiri ternyata sudah jenuh menjadi Ketua PBRI selama belasan
tahun, dan menganggap bahwa situasi seperti itu dapat mengarah kepada hal-hal
yang tidak demokratis.
Pada tahun 1971, Napis menyelenggarakan referendum di
antara anggota PBRI untuk memilih ketua yang baru, di samping juga meminta
usulan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta usulan
perubahan kebijakan dan strategi. Namun, ternyata referendum itu tidak
membuahkan hasil yang diharapkan. Napis tetap secara aklamasi diterima sebagai
ketua PBRI.
Pada tahun 1972, Pemerintah Republik Indonesia
tiba-tiba merasa perlu untuk mengatur industri periklanan. Harsono yang ketika
itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (Dirjen PPG)
Departemen penerangan, memprakarsai diselenggarakannya Seminar Periklanan-forum
nasional resmi pertama yang diselenggarakan di Indonesia untuk membicarakan
arah industri periklanan. Seminar ini diseenggarakan di restoran Geliga, Jalan
wahid Hasyim, Jakarta Pusat, dengan ketua penyelenggaraan H.G. Rorimpandey,
Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) yang ketika itu juga Pemimpin Umum
Harian Sinar Harapan.
(catatan penulis: sebetulnya, Christianto Wibisono
yang ketika itu menjadi Direktur Majalah Tempo pada tahun 1971 telah
menyelenggarakan sebuah seminar periklanan untuk mendiskusikan dalam menyikapi
masuknya elemen asing ke dalam industri perikalanan Industri Indonesia. Tetapi,
lingkup seminar ini masih bersifat terbatas di tataran pelaksana periklanan-bukan
pengambil keputusan di tingkat asosiasi dan regulator).
Dalam kesempatan itu pemerintah menyatakan bahwa PBRI
adalah satu-satunya wadah perusahaan periklanan yang diakui Pemerintah Republik
Indonesia. Pernyataan ini tampaknya didorong oleh kenyataan telah hadirnya
berbagai perusahaan periklanan yang disponsori pihak asing, dan tidak merasa
berkepentingan untuk menjadi anggota PBRI. Sekalipun pada tahun 1970 Menteri
Perdagangan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo telah menerbitkan surat keputusan
yang melarang kehadiran perusahaan periklanan asing di Indonesia, namun
kenyataannya praktik “Ali Baba” tetap menghadirkan banyak negara asing di
industri periklanan Indonesia. Pernyataan Pemerintah itu membuat hampir semua
perusahaan periklanan yang baru didirikan sekitar 1970-an kemudian
mendaftar-kan diri menjadi anggota PBRI.
Seminar periklanan itu juga memuncukan napas dan
harapan baru akan munculnya generasi modern periklanan Indonesia. Keinginan
untuk berorganisasi secara serius pun mulai tampak hidup. Napis pun semakin
berharap bahwa penggantinya akan segera muncul.
Kebetulan, pada tahun 1972 itu juga berlangsung Asian
Advertising Congress (AAC) VIII di Bangkok. Masih dengan semangat Seminar
Periklanan, beberapa tokoh periklanan Indonesia pun segera berangkat menghadiri
kongres tersebut. Mereka antara lain adalah: Christian Wibisono, Ken Sudarto,
Sjahrial Djalil, Ernst Katoppo, Abdul Moeid Chandra, Jacoba Muaja, Usamah, dan
Yo Wijayakusumah. Tidak tanggung-tanggung, delegasi Indonesia pada waktu itu
secara nekat juga menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah AAC IX pada tahun
1974. hebatnya lagi, usulan itu ternyata diterima. Pertumbuhan pesat industri
periklanan Indonesia tentulah menjadi faktor pembobot yang menghasilkan
keputusan itu.
Semangat untuk menjadi tuan rumah Aac IX itulah yang
membuat insan periklanan Indonesia semakin membulatkan tekad untuk
berorganisasi secara rapi. Pada tanggal 20 Desember 1972, bertempat di restoran
Chez Mario milik Muhammad Napis di jalan Ir. H. Juanda III/23, jakarta Pusat,
diselenggarakan Rapat Anggota PBRI.
Rapat itu juga dihadiri Direktur Bina Pers dari
Direktorat Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Departmen Penerangan, Drs. Tjoek
Atmadi. Rapat itu mengagendakan pemilihan pengurus baru, serta membahas
kemungkinan dibentuknya sebuah asosiasi periklanan dengan visi dan lingkup yang
lebih luas.
Abdul Maeid Chandra, seorang putra Madura aktivis PBRI
yang memiliki stasiun radio Trinanda Chandra dan perusahaan perilanan dengan
nama yang sama, akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum. Di jajaran pengurus
tercatat beberapa orang tokoh periklanan Indonesia, seperti: Savrinus Suardi,
Usamah, Sjahrial Djalil, dan Yo Wijayakusumah. Mereka adalah muka-muka baru
yang sebelumnya bukan merupakan aktivis PBRI.
Rapat Anggota juga menyepakati pembubaran PBRI dan
pembentukan asosiasi yang baru dengan nama Persatuan Perusahaan Periklanan
Indonesia (PPPI). Dengan pembentukan PPPI, secara resmi hilang pula istilah
”biri reklame” yang berbau kebelanda-belandaan, digantikan dengan istilah yang
lebih sesuai dengan tuntutan zaman: ”perusahaan periklanan”. Desakan untuk
mengganti istilah ”biro reklame” juga didasari pada kenyataan bahwa tukang
pembuat stempel di pinggir jalan pun menyebut diri mereka sebagai biro reklame.
Pada saat didirikan, PPPI beranggotakan 30 perusahaan
periklanan. Sahrial Djalil AdForce menyumbangkan logo bagi asosiasi yang baru
itu. PPPI juga segera merumuskan Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga
yang baru untuk menampung aspirasi periklanan modern.sumber: francodiazviera.blogspot.co.id